AI Tech Canggih atau Sesat? Ibas: Tech, Ilmu Karakter dan Wawasan Kebangsaan Saling Lengkapi

Wakil Ketua MPR RI dari Partai Demokrat Edhie Baskoro Yudhoyono (Ibas) menyampaikan gagasan visioner, tentang bagaimana bangsa Indonesia harus dapat memanfaatkan teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence atau AI) untuk menciptakan generasi emas yang tidak hanya cerdas, tetapi juga berakar pada nilai-nilai kebangsaan.
Hal tersebut disampaikannya dalam diskusi kebangsaan bertajuk “Kecerdasan Buatan dan Pendidikan Masa Depan” (13/12/24) di Gedung DPR/MPR RI. Diikuti Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), mahasiswa, dan praktisi serta ahli AI.
Dalam acara tersebut, hadir beberapa narasumber di antaranya Prof. Hafid Abbas, Ketua Komnas HAM 2014-2015 dan Pakar Pendidikan Kemanusiaan; Dra. Evita Adnan Akademisi Psikologi Pendidikan, Universitas Negeri Jakarta; serta Sultan Aulia, AI & Digital Literacy Trainer.
Pada pemaparannya, Ibas membuka dengan sebuah pernyataan reflektif yang penuh makna: “Kecerdasan buatan dapat menciptakan kesempatan dan menambah ilmu kita, tetapi hanya manusia yang memiliki hati dan bisa menentukan arah dan tujuan. Kecerdasan buatan adalah alat, bukan tujuan.” Ia menegaskan bahwa AI seharusnya menjadi mitra, bukan pengganti manusia, dalam upaya bersama membangun masa depan pendidikan yang lebih baik.
Ibas menyampaikan bahwa teknologi kecerdasan buatan telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari, termasuk di dunia pendidikan. Ia menyebut, “Generasi muda kita—baik Generasi Z maupun Generasi Alpha—sudah sangat akrab dengan teknologi. AI membawa banyak peluang, potensi, namun juga perlu waspada terhadap tantangan yang ditimbulkan.”
Menurut Ibas, setidaknya ada tiga potensi AI dalam dunia pendidikan, di antaranya untuk personalisasi pembelajaran, efisiensi operasional sekolah dan kampus, serta peningkatan aksesibilitas pendidikan. Meskipun demikian, ia juga memberikan catatan penting bahwa AI juga bisa memiliki dampak negatif, seperti ketergantungan teknologi dan risiko pengabaian nilai-nilai kebangsaan dan manusiawi.
Di lain sisi, Ketua Fraksi Partai Demokrat DPR RI ini melihat adanya peluang yang dapat dimanfaatkan dalam penggunaan AI untuk dunia pendidikan. Menurutnya, AI dapat membantu mengoptimalkan hak atas pendidikan untuk semua dengan semangat Bhinneka Tunggal Ika.
“Kita tidak ingin AI justru membanjiri kehidupan tanpa didasari dari nilai kebangsaan kita. Tapi kita juga bisa memberikan dukungan agar AI membuat keterampilan kita menjadi lebih baik, lebih maju di abad ke-21, sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.” ungkapnya.
Selain itu, menurut Ibas AI juga bisa membantu guru dan tenaga pendidik dalam evaluasi pembelajaran yang mendukung persatuan dan kesatuan.
Meskipun memiliki peluang yang cukup baik, namun Ibas menilai implementasi AI dalam sistem pendidikan di Indonesia juga masih memiliki beberapa tantangan. Kurangnya infrastruktur teknologi di daerah terpencil yang bertentangan dengan semangat NKRI menjadi salah satu tantangan utama.
“Masih juga dirasakan adanya ketimpangan akses antara sekolah maju dan sekolah-sekolah yang ada di daerah atau yang tertinggal. Tidak sesuai dengan asas keadilan dalam UUD 1945. Kita harus terus berbenah, terus membangun dan menyiapkan piranti dan perangkat, baik hard (keras) dan softnya (lunaknya),” terang Ibas.
“Kemudian masih adanya risiko terkait dengan privasi dan keamanan data siswa. Kita baru juga mendengar adanya leak of information (kebocoran informasi), data-data yang terpublikasi,” lanjutnya.
Lebih lanjut, Ibas berharap penggunaan AI dalam pendidikan yang berkelanjutan dapat terintegrasi dengan pendekatan berbasis karakter dan kebangsaan. “Sekali lagi, kalau kita serap teknologinya 100% tidak diimbangi dengan karakter kultur (budaya) bangsa kita, akan masuk pada arus budaya asing yang terlalu berlebihan,” tegasnya.
Menurut Ibas, beberapa cara lainnya adalah menjaga keseimbangan antara teknologi dan nilai-nilai Pancasila tetap terjaga. “Bagaimana kita juga bisa melibatkan semua pemangku kementingan dalam hal ini. Kita harus duduk bersama dengan pemerintah, dengan para guru, orang tua, masyarakat, generasi muda sebagai pemangku hajat ke depan,” imbuhnya.
Menyikapi permasalahan dan tantangan tersebut, Ibas menyampaikan beberapa rekomendasi strategis yang dapat diterapkan. Bagi pemerintah, Ibas menilai pemerintah perlu mengembangkan kebijakan nasional untuk integrasi AI dalam pendidikan yang sesuai dengan nilai-nilai empat pilar kebangsaan didukung infrastruktur digital yang merata demi keutuhan NKRI. “Kita tidak ingin terjadi yang sebaliknya, AI dapat memecah belah, malah membuat teraduk-aduk.”
Bagi sekolah dan guru, Ibas berharap adanya peningkatan literasi digital guru berdasarkan nilai Bhinneka Tunggal Ika.
“Tidak hanya kepada anak didik, tapi juga pada guru-guru yang berdasarkan Bhinneka Tunggal Ika. AI itu bisa banyak produknya. Bisa robotik, bisa yang berhubungan dengan software (perangkat lunak) dan teknologi.”
Sementara untuk generasi muda, perlunya mendorong mereka untuk melakukan innovasi berbasis AI, dengan keterampilan teknologi, dalam kerangka Pancasila dan karakter bangsa.
“Apakah itu melalui pembelajaran coding AI, atau pekerjaan yang akan menyerupai kegiatan tersebut. Tapi juga harus didasari dengan kerangka living ideology (ideologi kehidupan) kita Pancasila.”
“Sebagai contoh di Finlandia, negara yang selalu menjadi benchmark (tolak ukur) pendidikan dunia. Menggunakan AI itu untuk personalisasi pembelajaran. Seperti smart learning environment (SLE), dibuat semacam lingkungan yang pintar, lingkungan yang cerdas agar ada akselerasi edukasi di sana,” terang Ibas.
Ibas melihat fenomena AI dalam pendidikan adalah perubahan zaman yang tidak bisa ditahan. Mau tidak mau, bangsa Indonesia akan terus mendapatkan cobaan dan ujian dari arus dunia yang boleh dikatakan borderless (tanpa batas). Oleh karena itu, ia berpesan agar masyarakat perlu fokus pada keterampilan manusia dan keahlian berfikir yang sistematik, agar manusia Indonesia tetap relevan di era AI.
“Kita jangan sampai malah justru terpengaruh dengan AI itu. Bagaimana kita bisa melompat, menggunakannya untuk lebih produktif, lebih efisien dan optimal dalam kehidupan ini.”
Senada dengan Ibas, Dra. Evita juga menyampaikan bahwa kecerdasan buatan yang terus berkembang harus dibarengi dengan pendidikan karakter.
“Kita tahu bahwa tugas pendidikan tidak hanya sebatas mengajar, tetapi juga mendidik peserta didik agar mampu berefleksi secara kritis. Di era kecerdasan buatan yang terus berkembang, pendidikan karakter menjadi semakin relevan. Oleh karena itu, nilai-nilai Pancasila harus diperkuat agar tetap menjadi pedoman utama dalam membentuk generasi yang berintegritas dan berwawasan kebangsaan,” ungkapnya.
Dalam penutupnya, Ibas menyampaikan harapannya agar AI dapat menjadi sarana untuk menciptakan generasi emas Indonesia pada tahun 2045, generasi yang tidak hanya unggul dalam pengetahuan dan teknologi, tetapi juga kokoh dalam karakter dan cinta tanah air.
“AI adalah alat yang hebat, tetapi manusia tetap menjadi penentu. Mari kita pastikan bahwa anak-anak kita tidak hanya belajar untuk menjadi cerdas, tetapi juga untuk menjadi manusia yang memahami nilai-nilai kebangsaan dan menjaga persatuan Indonesia,” pungkasnya.